Rabu, 26 Maret 2008
Pernyataan Institute for Global Justice (IGJ) : "ASEAN-EU FTA AKAN MENDATANGKAN BENCANA DAN KEHILANGAN KEDAULATAN"
Saat ini sedang dilakukan perundingan terus menerus di dalam Joint Committee for the EU-ASEAN Free Trade Agreement. Perundingan terakhir telah berlangsung di Brussels, Belgia dari tanggal 30 Januari – 1 Februari 2008. Diagendakan bahwa pertemuan Joint Committee berikutnya akan lebih intensif diadakan di Negara-negara ASEAN, yaitu pada bulan April di Bangkok, Thailand; bulan Juli di Filipina dan bulan Oktober di Vietnam.

Ini merupakan langkah agresif dari pihak Uni-Eropa, sebagaimana dikatakan Peter Mandelsohn, EU Trade Commissioner; "Strengthening the commitment and focus of EU trade policy in Asia is an important part of the EU's Global Europe trade strategy. An EU-ASEAN FTA is a key part of that. This meeting helped clarify issues and map out the work ahead. I remain strongly committed to a wide-ranging twenty-first century trade agreement …".

Ini adalah pengakuan langsung Mandelsohn atas ambisi Uni-Eropa. Pada tahun 2006, Uni-Eropa telah menetapkan strategi baru mereka di bidang perdagangan dan investasi yang disebut sebagai "Global Europe: Competing in the World". Di dalamnya secara prinsipil menetapkan agenda bagi peningkatan kompetisi global korporasi-korporasi (TNCs) Uni-Eropa dengan mengorbankan rakyat dan lingkungan di Eropa dan di seluruh dunia. Dokumen tersebut menyatakan bahwa "Getting rid of all barriers that hinder the
operations of companies and making sure all regulations are minimally trade distorting". Global Europe adalah ancaman serius bagi keadilan sosial, kesetaraan gender dan pembangunan berkelanjutan, bukan saja bagi Negara-negara di luar Eropa, tetapi juga bagi Negara-negara di dalam Uni-Eropa sendiri. Alat utama untuk ini adalah dengan melakukan Bilateral Free Trade Agreements (BFTA) dengan Negara-negara sasaran utama mereka:

India, Korea Selatan, ASEAN, MERCOSUR, Amerika Tengah dan Kawasan Andean. Tujuan utamanya adalah membuka pasar dan melakukan deregulasi pasar untuk keuntungan perusahaan-perusahaan Eropa; meningkatkan akses mereka atas sumberdaya alam, khususnya cadangan energi; mengamankan keuntungan mereka lewat didesakkannya rejim IPR (HAKI); serta mekanisme perdagangan lainnya. Hal ini berarti lebih banyak lagi kekuasaan kepada korporasi dan pengurangan atas kedaulatan rakyat dalam mengatur perekonomiannya.

Pelajaran mahal bisa dipetik dari EU-Afrika EPA yang telah ditandatangani antara Uni-Eropa dengan Negara-negara Afrika pada tanggal 12 Desember 2007. Uni-Eropa telah menggunakan berbagai cara tidak terpuji dengan menekan dan mengancam Negara-negara tersebut untuk mengesahkan perjanjian tersebut, termasuk dengan pembatalan bantuan dan penutupan akses pasar ke Eropa. Perjanjian tersebut berintikan penghapusan semua hambatan atas perdagangan, seperti memastikan bahwa Negara-negara Afrika tidak akan
menerapkan pajak import atas produk pangan Eropa yang bersubsidi tinggi guna melindungi petani kecil mereka. Demikian pula penghapusan atas persyaratan local content yang diterapkan kepada Negara-negara SADC (Southern African Development Community). Intinya adalah EPA tersebut bersifat WTO-Plus, yaitu lebih luas dan komprehensif ketimbang yang telah diatur di dalam WTO.

Ini membenarkan apa yang telah disampaikan oleh ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, yang menyatakan bahwa ""perjanjian bilateral adalah sebuah bencana". Stiglitz menyatakan "Overall, bilateral agreements have been a disaster, for the developing countries and for the global trading system. The global trading system is based on principle of non-discrimination, which is called the most favoured nation principle.

These FTAs are creating a world in which there are two groups - the first consist of "my friends who can get in free" and the other, consist of countries that have to pay tariffs. So, it is a disaster". Kemudian ia menimpalinya lagi dengan mengatakan bahwa FTA "bukanlah tentang perdagangan barang, akan tetapi mengenai kehilangan kedaulatan" (It's not about trading goods; it's about losing sovereignty).

Penelitian assessment yang dilakukan Institute for Global Justice (IGJ) pada tahun 2007-2008 atas ASEAN-European Union FTA (AEUFTA), khususnya dampaknya atas Indonesia, juga menyimpulkan bahwa perjanjian ini berpotensi memperdalam perbedaan atau asimetris hubungan ekonomi antara dua kawasan ini. Negara-negara ASEAN akan mengalami kesulitan dengan ongkos penyesuaian yang muncul akibat kesepakatan ini. Untuk Indonesia, ongkos-ongkos penyesuaian ini akan berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Studi yang dilakukan IGJ secara kuantitatif dan kualitatif juga menunjukkan dua hal penting. Pertama, terdapat sektor-sektor yang diprediksikan akan mengalami kerugian dan sedikit keuntungan bagi Indonesia, bahkan keuntungannya tidak signifikan.

Kedua, bahwa kesepakatan ini hanya memberi kontribusi yang minimal terhadap GDP (Gross Domestic Product) nasional. Dari hasil temuan kualitatif, terlihat bahwa sebenarnya terdapat kekhawatiran berbagai kalangan, terutama dari masyarakat sipil, akan dampak ASEAN-EU FTA.

Disamping itu perspektif pembangunan masih sangat diperlukan dalam sebuah kesepakatan perdagangan. Secara kuantitatif, melalui model ekonomi IGJ-EMERALD, juga disebutkan bahwa AEUFTA akan berimbas pada kondisi makro-ekonomi yang nyata, seperti turunnya harga eksport atau perubahan harga dalam sektor-sektor perekonomian Indonesia. Karena adanya kesenjangan perekonomian antara Negara-negara ASEAN dengan Uni-Eropa, maka AEUFTA ini hanya akan memperdalam jurang pembangunan dan perekonomian di antara dua kawasan tersebut. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa AEUFTA akan lebih bekerja untuk kepentingan Uni-Eropa, dibandingkan untuk kepentingan ASEAN, dan khususnya Indonesia.

Dengan ini, maka kami merekomendasikan agar proses perundingan AEUFTA agar segera dihentikan. Lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya bila meneruskan kesepakatan ini. Dan yang kembali menjadi korban adalah rakyat Indonesia dan masa depan bangsa Indonesia. Indonesia akan diikat untuk menghadapi bencana besar dan kehilangan kedaulatannya.


Jakarta, 19 Maret 2008


Bonnie Setiawan

Direktur Eksekutif
Institute for Global Justice (IGJ)


A Statement of Concern on the Situation in Tibet *
25 March 2008

We are saddened and alarmed that the peaceful protest led by Buddhist monks in the Tibetan capital and the wave of sympathy protests in the neighboring Tibetan areas has drawn a strong response from the Chinese authorities. We also deplore the riots, even though we understand the problems that gave rise to them.

We are concerned about the police and military build-up in response to these events not only in Lhasa but also in Tibetan areas of western China. We believe that the current news blockade and censorship of the media are not helpful for the Chinese people and the international community and damage the credibility of the Chinese government.

The problems in Tibet are complex and long-standing and the demands for cultural and religious freedoms are well known. However, the more recent rapid economic evelopment of the region has created huge inequalities and further marginalized Tibetans. As we have seen in many other regions of the world, inequality and marginalization are the consequences of rapid economic development and globalization, all too often resulting
intensions and conflicts. These tensions and conflicts cannot be addressed through force and suppression, but rather through dialogue based on respect.

As concerned Asians, we call on the Chinese government to respect the aspirations of the Tibetan people, to listen seriously to their problems, and to engage in open and transparent talks with the Dalai Lama and other Tibetan groups.

We believe that violence offers no solution and we call for restraint from both sides: the Chinese government should not arrest innocent people and should give fair trial to those who allegedly committed crimes during the riots. We also advise Tibetans to avoid attacking or destroying properties of civilian ethnic Chinese and Muslims as this could result to more militarization.

We urge the authorities to allow foreign and independent press to enter the region to ensure that events are reported and for arrests of protesters or suspected rioters to be known.

Finally, we ask the governments of India and Nepal to desist from using force to disperse demonstrations by exiled Tibetans in support of their compatriots and to allow them freedom of speech and assembly.

Signed:
Focus on the Global South (Thailand, Philippines, India)

Sabtu, 15 Desember 2007
KEADILAN IKLIM DAN KEADILAN GLOBAL

MASALAH PERUBAHAN IKLIM PERLU KE ARAH

KEADILAN IKLIM DAN KEADILAN GLOBAL


Pernyataan Institute for Global Justice

Atas Hasil COP-13, UNFCCC, Bali



Hari ini Konperensi PBB tentang Perubahan Iklim akan berakhir. Belum kelihatan bagaimana hasil akhirnya. Akan tetapi bila tidak ada penyelesaian akan isu-isu utama, maka kemungkinan akan ada "Plan-B", di mana hanya ada teks sederhana dan detil yang sedikit, dan Bali hanya merupakan awal dari proses perundingan yang panjang.


Isu-isu utama adalah sebagai berikut:


  1. Komitmen pengurangan emisi (25-40% di bawah level tahun 1990 pada tahun 2020; serta lebih dari 50% dari level tahun 2000 pada tahun 2050)
  2. Kesepakatan komprehensif sampai dengan 2012
  3. Tujuan jangka panjang tindakan kerjasama global
  4. Memasukkan AS dalam komitmen pengurangan emisi
  5. Transfer teknologi, dalam hal subsidi; capacity building; dan komunikasi nasional (data emisi dan iklim)

Nampaknya ke lima isu di atas masih merupakan perundingan dan perdebatan panas, yang akan terus dibawa ke dalam perundingan lanjutan COP-14 di Polandia pada tahun 2008 dan COP-15 di Denmark pada tahun 2009.

Benang merah dari perundingan perubahan iklim ini adalah masih ketatnya dan alotnya perbedaan pandangan antara Negara-negara Utara dan Selatan (Negara maju dengan Negara berkembang/miskin). Bahkan forum UNFCCC di Bali memperlihatkan arah terjadinya perundingan mirip di WTO, di mana terjadi proses "green-room" dan manipulasi.


Yang juga penting dicatat adalah dominannya peran korporasi dalam isu perubahan iklim. Mereka mengarahkan agar isu ini masuk ke dalam mekanisme pasar dan pasar sebagai solusi atas masalah gas rumah kaca (GRK), seperti dalam perdagangan karbon. Bahkan PBB mendukung lewat pernyataan bahwa 84% dari anggaran sebesar $ 50 milyar untuk menanggulangi perubahan iklim perlu berasal dari pihak swasta.


Karena itu kami menyatakan disini bahwa masalah perubahan iklim harus ditekankan pada masalah keadilan iklim dan keadilan global. Keadilan iklim berarti perlunya keharusan bagi pelaksanaan segera kewajiban Negara-negara Utara, dan bukan sebaliknya diletakkan pada Negara-negara Selatan. Selain itu harus tetap diletakkan prinsip kewajiban Negara dalam mengatasi masalah perubahan iklim, dan bukan pada kewajiban korporasi yang hanya akan mengambil keuntungan dari solusi yang diambil. Kami juga perlu meletakkannya pada konteks keadilan global, yaitu tetap pada arah keadilan untuk Negara-negara miskin dalam berbagai forum multilateral dan sebagainya. Ini agar tidak mengulangi proses sebagaimana yang telah terjadi di WTO, IMF maupun Bank Dunia.



Jakarta, 14 Desember 2007

Bonnie Setiawan




Terabas
Earth Song
Ants Unite I
Ants Unite II

Previous Post
Archives
Economic Literacy
Downloadable Materials







FILEs
Click on the Links to download

ECOSOC Rights (PDF)

ECOSOC Budget(PDF)

Panduan Globalisasi I (PDF)

Panduan Globalisasi II (PDF)

Geopolitics (PDF)

WHAT THEY SAY

Aileen Kwa (PDF)

Declaration of Assembly (PDF)

Dollsandust (PDF)

Fidel Castro (PDF)

Vandana Shiva (PDF)

Benih (PDF)

Castro (Doc)

POSTER for CAMPAIGNE

Utang Ekologis (PDF)

Utang Ekologis page II (PDF)

Structural Oppression Tree (PDF)


Link
Footer


ACT!ONAID

RADIO MAP for
Economic Justice

Radio Community geographical position
See CLOSER !!
W O M E N
Alexandra Kollontai